Mengabdi dengan Hati: Jejak Pengabdian Masyarakat STIT Al-Muslihuun Tlogo Blitar yang Tak Pernah Padam

Dari ruang kuliah hingga desa binaan, mahasiswa dan dosen Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Al-Muslihuun terus hadir membawa ilmu, empati, dan perubahan nyata.

Awal yang Selalu Menginspirasi

Pagi itu, sinar matahari menembus celah dedaunan di salah satu desa di Blitar Selatan. Suara tawa anak-anak terdengar di antara para mahasiswa berseragam almamater biru STIT Al-Muslihuun Tlogo Blitar. Mereka sedang mempersiapkan pelatihan kewirausahaan sederhana bagi ibu-ibu rumah tangga setempat.

Ada yang menata meja, ada yang menyiapkan bahan presentasi, dan ada pula yang sibuk berbaur dengan warga, menyapa dengan senyum hangat yang tulus.

Suasana seperti itu bukan hal asing bagi keluarga besar STIT Al-Muslihuun. Setiap tahun, kampus ini menjadi saksi hidup atas lahirnya ratusan mahasiswa yang turun langsung ke masyarakat dalam rangka melaksanakan pengabdian masyarakat, salah satu pilar utama dari Tridharma Perguruan Tinggi.

Di bawah bimbingan para dosen, mahasiswa tidak hanya belajar teori, tetapi juga mengamalkan nilai-nilai Islam dan kemanusiaan melalui tindakan nyata.

“Pengabdian masyarakat itu bukan hanya kewajiban akademik,” ujar Drs. H. Socheh, MH.M.Pd.I, Wakil Ketua II STIT Al-Muslihuun Tlogo Blitar, saat ditemui di ruang kerjanya. “Ini adalah panggilan moral dan spiritual bagi setiap insan akademik untuk menerapkan ilmu yang diperoleh demi kemaslahatan umat.”

Makna Pengabdian dalam Bingkai Tridharma

Tridharma Perguruan Tinggi Pendidikan dan Pengajaran, Penelitian, serta Pengabdian kepada Masyarakat menjadi fondasi utama dalam setiap langkah kampus STIT Al-Muslihuun.

Bagi Drs. H. Socheh, pengabdian masyarakat bukan sekadar aktivitas tahunan, melainkan sebuah gerakan berkelanjutan yang menumbuhkan kesadaran sosial di kalangan mahasiswa.

“Pengabdian masyarakat di STIT Al-Muslihuun sudah menjadi budaya akademik. Setiap tahun kami melibatkan mahasiswa dan dosen dalam kegiatan yang benar-benar menyentuh kebutuhan masyarakat. Dari sanalah lahir pemimpin yang peka, peduli, dan mampu membawa perubahan,” ujarnya.

Menurutnya, pengabdian masyarakat bertujuan ganda. Pertama, mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui penerapan hasil akademik di kehidupan nyata. Dan yang kedua, memberdayakan masyarakat agar menjadi lebih mandiri dan sejahtera.

“Mahasiswa kami tidak hanya datang untuk memberi pelatihan, tapi juga mendengar, memahami, dan belajar dari masyarakat,” imbuhnya.

Perencanaan yang Terstruktur dan Berbasis Kebutuhan

Setiap kegiatan pengabdian di STIT Al-Muslihuun diawali dengan proses yang matang. Tim dosen bersama mahasiswa melakukan identifikasi kebutuhan masyarakat melalui survei lapangan. Tujuannya sederhana: agar setiap program benar-benar sesuai dengan kondisi dan masalah yang dihadapi oleh masyarakat.

“Kadang masyarakat butuh pelatihan kewirausahaan, kadang butuh bimbingan mengelola kelompok tani, atau pembinaan pendidikan anak. Semua harus disesuaikan. Karena pengabdian yang baik adalah pengabdian yang relevan dengan kebutuhan masyarakat, bukan hanya mengikuti teori,” ucap Drs. H. Socheh.

Setelah proses identifikasi, dilakukan analisis sosial untuk menemukan akar permasalahan. Dari situ, disusunlah program kegiatan secara sistematis dengan menggunakan berbagai metode seperti Participatory Action Research (PAR), Community-Based Research (CBR), dan Service Learning (SL).

Pendekatan partisipatif ini membuat masyarakat tidak sekadar menjadi objek, tetapi turut berperan aktif sebagai subjek pembangunan.

Pelaksanaan yang Menyentuh dan Bermakna

Pelaksanaan pengabdian masyarakat di STIT Al-Muslihuun dilakukan dengan penuh semangat dan tanggung jawab. Mahasiswa dibimbing oleh dosen pembimbing lapangan agar setiap kegiatan berjalan sesuai rencana.

Setiap kegiatan selalu didokumentasikan dengan rapi, karena laporan dan dokumentasi menjadi bagian penting dari evaluasi. Namun lebih dari sekadar administrasi, dokumentasi itu menyimpan kisah, kerja keras, dan senyum warga yang menjadi bukti nyata bahwa pengabdian itu benar-benar hidup.

“Setiap kegiatan sekecil apa pun harus tertulis dan terdokumentasi,” tegas Drs. H. Socheh. “Itu bukan hanya soal laporan, tapi juga bentuk pertanggungjawaban moral kita terhadap masyarakat.”

Salah satu program unggulan STIT Al-Muslihuun adalah desa binaan. Beberapa desa di wilayah Blitar Selatan menjadi mitra tetap kampus, tempat mahasiswa dan dosen melakukan pembinaan rutin setiap bulan.

Mereka tidak sekedar hadir sekali, melainkan terus melaksanakan tindak lanjut agar program benar-benar terlaksana dengan baik. Inilah yang membuat pengabdian STIT Al-Muslihuun berbeda, bukan sekedar seremonial, tetapi berakar dan tumbuh bersama masyarakat.

Cerita Mahasiswa di Lapangan

Bagi mahasiswa, pengabdian masyarakat adalah pengalaman yang membekas seumur hidup.

Fitri, salah satu mahasiswa yang pernah mengikuti pengabdian di Desa Sumberjati, menceritakan bagaimana ia dan timnya harus menyesuaikan diri dengan budaya masyarakat setempat.

“Awalnya kami canggung, masyarakat di sana sangat sederhana dan sebagian besar bekerja sebagai petani. Tapi setelah beberapa hari, kami justru belajar banyak dari mereka tentang kesabaran, gotong royong, dan ketulusan,” tuturnya sambil tersenyum.

Ada pula kisah Riyan, mahasiswa jurusan Pendidikan Agama Islam, yang bersama kelompoknya mengadakan pelatihan membaca Al-Qur’an bagi anak-anak di dusun terpencil. “Anak-anaknya antusias sekali, kami merasa ilmu yang kami pelajari di kampus benar-benar berguna di sini,” katanya.

Mahasiswa lain menambahkan bahwa tantangan terbesar justru datang dari keterbatasan sumber daya. “Kami kadang kekurangan dana atau peralatan. Tetapi kami berinisiatif untuk  membuat proposal, bekerja sama dengan dinas, atau bahkan memanfaatkan bahan seadanya” ujar salah satu mahasiswa.

Tantangan dan Adaptasi di Lapangan

Drs. H. Socheh mengakui bahwa kegiatan pengabdian masyarakat tidak selalu berjalan mulus.

“Mahasiswa harus menghadapi berbagai tantangan, mulai dari adaptasi sosial dan budaya, keterbatasan sumber daya, hingga rendahnya partisipasi masyarakat,” ujarnya.

Ia menekankan bahwa adaptasi sosial adalah kunci. Mahasiswa perlu memahami karakter masyarakat yang beragam, dari tingkat pendidikan, ekonomi, hingga adat istiadat.

“Desa itu unik. Ada yang homogen, ada yang heterogen. Mahasiswa harus mampu menyesuaikan diri dengan semua perbedaan itu,” katanya.

Keterbatasan sumber daya juga menjadi tantangan tersendiri. Sebagian besar mahasiswa STIT Al-Muslihuun berasal dari kalangan menengah ke bawah, sehingga pelaksanaan pengabdian sering kali harus dilakukan dengan anggaran terbatas.

Namun justru di situlah nilai perjuangan dan kreativitas diuji. “Kami ajarkan mereka untuk tidak menyerah, kalau dana terbatas, cari solusi. Koordinasi dengan instansi terkait, manfaatkan jejaring, atau lakukan inovasi sederhana,” imbuh Drs. H. Socheh.

Sementara itu, rendahnya partisipasi masyarakat kadang menjadi penghalang. Tidak semua warga langsung antusias dengan program mahasiswa. “Ada yang awalnya acuh, tapi setelah melihat manfaatnya, mereka jadi ikut terlibat. Kuncinya komunikasi dan kesabaran,” ujarnya dengan tersenyum.

Doc. Kuliah Kerja Nyata (KKN) 2025

Respon Positif dan Hubungan yang Erat dengan Masyarakat

Kurangnya partisipasi masyarakat menjadi tantangan tersendiri bagi para mahasiswa, akan tetapi tanggapan mereka terhadap pengabdian mahasiswa STIT Al-Muslihuun justru sangat positif.

Selama ini, masyarakat di berbagai desa binaan menilai mahasiswa kampus ini sebagai pribadi yang sopan, sabar, dan santun dalam berinteraksi.

“Mahasiswa STIT Al-Muslihuun itu beda,” kata Pak Slamet, salah satu tokoh masyarakat di Desa Binaan. “Mereka datang bukan untuk menggurui, tapi untuk belajar bersama kami. Mereka sopan, mau mendengar, dan tidak sombong. Kami senang kalau tiap tahun ada mahasiswa dari STIT Al-Muslihuun datang ke sini.”

Drs. H. Socheh membenarkan hal itu. “Kami selalu menanamkan nilai kesopanan dan penghormatan. Mahasiswa harus sadar bahwa ketika mereka turun ke masyarakat, mereka adalah tamu. Maka harus menjaga adab dan sikap. Dari situlah mereka dihormati,” ungkapnya.

Bagi masyarakat, kehadiran mahasiswa STIT Al-Muslihuun bukan hanya sekadar kegiatan akademik, tetapi juga menjadi sarana mempererat tali silaturahmi dan memperkaya kehidupan sosial.

Program-program yang dijalankan dinilai relevan dengan kebutuhan masyarakat, mulai dari pelatihan wirausaha, penyuluhan pendidikan, hingga kegiatan sosial keagamaan.

Dampak dan Keberlanjutan

Salah satu keberhasilan terbesar pengabdian masyarakat STIT Al-Muslihuun adalah keberlanjutan programnya.

Setiap angkatan mahasiswa memiliki desa binaan yang terus dikunjungi secara rutin, bahkan setelah masa pengabdian selesai.

Hal ini menjadikan hubungan antara kampus dan masyarakat semakin kuat.

Program desa binaan juga menjadi laboratorium sosial yang efektif. Mahasiswa dapat menerapkan ilmu yang telah mereka pelajari di kelas secara langsung, sambil mendapatkan umpan balik nyata dari masyarakat.

“Dari sini kami bisa melihat bagaimana teori-teori yang kami pelajari benar-benar relevan di lapangan. Dan ketika masyarakat merasa terbantu, ada kepuasan batin yang tak tergantikan,” ungkap salah satu mahasiswa.

Tak jarang, hasil pengabdian masyarakat ini juga menjadi inspirasi bagi penelitian lanjutan dan pengembangan kurikulum kampus. Dengan begitu, kegiatan tridharma benar-benar saling terhubung dan saling memperkuat.

Nilai Spiritual di Balik Pengabdian

Sebagai kampus Islam, STIT Al-Muslihuun menanamkan nilai bahwa pengabdian masyarakat bukan sekadar kegiatan sosial, tetapi juga ibadah dan ladang amal.

Drs. H. Socheh menegaskan, “Ilmu tanpa amal itu kosong. Pengabdian masyarakat adalah bentuk amal nyata dari ilmu yang telah kita peroleh.”

Mahasiswa tidak hanya belajar memberikan bantuan, tetapi juga menumbuhkan empati, memahami penderitaan orang lain, dan bersyukur atas nikmat yang dimiliki.

Dalam setiap kegiatan, mereka belajar bahwa keberkahan ilmu datang ketika ilmu itu dibagikan dan bermanfaat bagi sesama.

Refleksi dan Harapan ke Depan

Melalui pengabdian masyarakat, STIT Al-Muslihuun telah membuktikan bahwa kampus bukan hanya tempat belajar teori, tetapi juga pusat pemberdayaan sosial.

Semangat dosen dan mahasiswa yang turun langsung ke masyarakat menjadi wajah nyata tridharma perguruan tinggi.

“Harapan kami, kegiatan ini terus berlanjut dengan lebih baik lagi,” ucap Drs. H. Socheh menutup wawancara. “Kami ingin setiap mahasiswa Al-Muslihuun tidak hanya menjadi sarjana, tetapi juga menjadi insan yang peduli dan bermanfaat bagi lingkungannya.”

Kini, ketika senja mulai turun di desa binaan itu, mahasiswa STIT Al-Muslihuun masih terlihat bercengkerama bersama warga.

Anak-anak tersenyum, para ibu berbagi cerita, dan para mahasiswa menatap hari dengan rasa bangga.

Bagi mereka, pengabdian bukan sekadar tugas kuliah. Ia adalah panggilan hati — sebuah perjalanan untuk memberi, belajar, dan menjadi manusia seutuhnya.



Penulis : Mas Dim

Edit by : Sil

Posting Komentar

0 Komentar

Ad Code

Responsive Advertisement