Di Balik Toga yang Menyembunyikan Luka
Karya: Zaka Ali Ridho
Minggu, 19 Oktober 2025
![]() |
| Doc. Karya asli Zaka Ali Ridho |
ADEGAN 1—Gerbang Kampus Hijau
Perempuan:
Kau menunggu apa, disini?
Laki-laki(suara berat):
Jawaban, mungkin.
Tentang mengapa setelah empat tahun bergulat dengan buku,
Yang kudapati hanya sunyi, dan janji yang tak ditepati.
Perempuan:
Kau masih menatap gedung itu seolah di dalamnya ada masa depanmu.
Laki-laki:
Karena aku percaya, dulu...
Bahwa ilmu bisa menyelamatkan manusia dari lapar.
Tapi ternyata lapar lebih cepat daripada gelar.
Perempuan(lirih):
Mungkin karena dunia lebih percaya pada uang daripada pada pengetahuan.
Laki-laki (tersenyum getir):
Atau mungkin, karena aku belum cukup tega untuk menjual idealismeku.
Hening yang begitu panjang, yang dirajut oleh melodi petir yang jauh disana.
ADEGAN 2—Di Depan Rumah
Dibawah lampu yang begitu redup sesosok pria tua duduk di kursi bambu, menggulung tembakau yang dihisap dengan nafas yang begitu berat.
Ayah:
Sudah lulus, ya?
(Tersenyum tipis)
Ijazahnya bisa kulihat?
Anak:
Ini, Yah.
(Serahkan map, suaranya lirih)
Kertas ini katanya jaminan hidup. Tapi entah untuk hidup siapa.
Ayah (memandang lekat):
Aku tak tahu cara membaca nilai, Nak.
Yang kutahu cuma caraku menanam padi agar bisa makan esok pagi.
Anak:
Aku belajar dari Ayah juga.
Tapi aku menanam kata, bukan padi.
Sayangnya, kata-kataku tak bisa dimakan.
Ayah (tersenyum getir):
Tak apa.
Mungkin nanti, kata-katamu bisa menumbuhkan hati orang lain.
Anak:
Tapi bagaimana aku membalas semua ini, Yah?
Tubuh ayah sudah seperti ladang tua, basah oleh peluh.
Aku bahkan tak bisa membeli sarung baru untukmu.
Ayah:
Kau sudah membalasnya, Nak.
Dengan tidak berhenti berusaha.
Dengan tetap berdoa ditengah sepi.
Dengan tidak malu menyebut namaku disetiap langkahmu.
ADEGAN 3—Kelas Yang Sepi
(Kursi-kursi kosong. Dosen tua duduk membaca koran. Laki-laki datang pelan).
Dosen:
Kau datang lagi?
Aku kira setelah lulus wisuda, kau tak akan kembali.
Laki-laki:
Saya rindu berdealektika dengan anda, Bu.
Tentang kebenaran, tentang nurani, tentang perlawanan yang dulu membuat saya percaya menjadi manusia itu mulia.
Dosen:
Dunia tak butuh manusia mulia, Nak.
Dunia butuh orang yang hanya tunduk tanpa banyak tanya.
Laki-laki:
Lalu, untuk apa saya belajar berpikir,
Jika akhirnya saya harus diam untuk bisa diterima?
Dosen (menatap kosong):
Mungkin agar kau tahu,
Betapa sulitnya menjadi benar di dunia yang sibuk menjadi baik.
(Hening sejenak, hanya suara jam berdetak)
Laki-laki (lirih):
Terima kasih, Bu.
Karena telah mengajariku cara jatuh dengan kepala tetap tegak.
ADEGAN 4—Menolong Ibu
(Cahaya hangat. Laki-laki duduk didapur. Ibu menanak nasi, sesekali menatapnya lembut).
Ibu:
Lulus ya, Nak?
Syukurlah. Ibu tak minta apa-apa,
Asal kau tetap jadi orang baik.
Anak (suara bergetar):
Bu, kebaikan tak cukup untuk membeli beras.
Ibu (tersenyum):
Tapi kebaikan cukup untuk menenangkan hati.
Kalau hatimu tenang, rezeki akan tahu jalan pulang.
Anak:
Bu....
Tubuhmu sudah terlalu letih,
Namun matamu masih menatapku seperti doa yang tak mau berhenti.
Ibu:
Karena kau adalah alasan doa itu diciptakan.
(Teja meredup di dapur senja, seakan Surya menutup mata dalam do'a dentang sendok dan panci menyanyi bersama waktu. Beralih menjadi bisikan atma. Yang menari diantara sisa uap dan kenangan)
ADEGAN 5—JEDA PUISI(Suara Narator/Batin)
Ada ibu yang menanank sabar di dapur,
Dan ayah yang menabur doa di kandang.
Sementara anaknya berjalan dikota,
Mengira ijazah adalah kompas menuju bahagia.
Tapi hidup bukan soal pintar,
Hidup adalah soal bertahan
Di tengah dunia yang menertawakan kebenaran.
ADEGAN 6—Perempuan (Harapan)
(Laki-laki duduk di taman kampus. Sementara sang perempuan datang membawa bunga kering dari ladang yang tandus).
Perempuan:
Kau kelihatan lelah.
Laki-laki:
Ya...Sangat lelah
Lelah mencari arti hidup yang katanya pasti.
Tapi aku tak menemukannya di kantor,
Tak juga di iklan lowongan.
Perempuan (duduk di sampingnya):
Mungkin karena arti hidup tak dicari.
Ia diciptakan,
Dari luka, dari jalan, dari setiap gagal yang tak kau tinggalkan.
Laki-laki:
Kalau begitu, apakah aku sudah menciptakan sesuatu?
Apakah aku sudah menciptakan nilai baru dalam kefanaan ini?
Perempuan:
Ya.
Kau menciptakan keteguhan di tengah hancur.
Kau menciptakan makna di tengah absurd.
Dan itu berharga dari sekedar pekerjaan.
PUISI PENUTUP (Duet)
• Purusa itu duduk diantara Vidyalaya.
• Daun gugur menulis mantra di pangkuan Bumi
• Perempuan datang membawa bunga kering
• Seakan menghadirkan kenangan yang tak lagi beraroma, namun masih hidup dalam sukam waktu.
Laki-laki (dengan nada berat, dalam)
Aku bukan sarjana untuk disanjung,
Aku hanya anak dari peluh yang disembunyikan sejarah.
Perempuan (lantang tapi lembut)
Aku bukan harapan untuk disembah,
Aku hanya nyala kecil yang hidup dari keberanian.
Yang dikebiri oleh realita negri ini.
Laki-laki:
Kami lahir dari ruang sunyi, yang ditemani oleh gemuruh petir
Dikala itu...
Tapi kami, di pupuk, di rajut, kemudian tumbuh di ladang-ladang
Doa orang tua.
Perempuan:
Kami menulis masa depan
Dengan tinta yang berasal dari air mata,
Dan keringat yang tak pernah tercatat di laporan negara.
Laki-laki (menatap langit):
Jika dunia menertawakan kami hari ini
Biarlah.
Karena tawa mereka takkan menenggelamkan keyakinan
Yang lahir dari kasih ibu dan dari peluh seorang ayah.
Perempuan (tegas, lantang):
Dan bila sejarah kelak bertanya siapa kami—
Katakan:
Bersama:
Kami adalah sejarah dari langit yang berkeringat,
Anak matahari yang menimba nurani dari hujan,
Menyulam kebenaran di tenun luka zaman.
Ketika dunia menukar makna dengan citra,
Kami menulis doa di punggung angin,
Menyebut nama kebenaran seperti kekasih yang terlambat untuk pulang.
Sebab kami tahu,
Bahkan bintang pun lahir
Dari gelap yang paling pekat.
Pesan moral:
Puisi ini menggambarkan bahwa ijazah sejati bukan hasil ujian akademik, melainkan ujian batin: tentang bagaimana manusia mampu membalas jasa pengetahuan dan kasih sayang dengan karya dan ketulusan.
Penulis :Ubaid Dimas Romandhan

0 Komentar