Reformasi Pidana atau Legalisasi Kesewenang-wenangan?

Ilustrasi RUU KUHAP

Pengesahan RUU KUHAP oleh DPR RI pada 17 November 2025 bukan sekadar peristiwa legislasi biasa. Ia adalah potret telanjang bagaimana hukum dapat dilahirkan dalam situasi krisis legitimasi, tepat ketika suara mahasiswa menggema di luar gedung parlemen, menolak pasal-pasal yang dianggap “ugal-ugalan” dan berpotensi merebut paksa kemerdekaan warga negara.

Ironisnya, pengesahan ini berlangsung beriringan dengan akan berlakunya KUHP baru pada 2 Januari 2026 yang digadang-gadang sebagai simbol modernisasi hukum pidana nasional. Namun alih-alih saling melengkapi, KUHP baru dan KUHAP hasil revisi justru tampak timpang. Modernisasi prosedural yang dijanjikan, seperti pengakuan alat bukti elektronik, tertutup oleh kekhawatiran jauh lebih besar: meluasnya kewenangan aparat tanpa pengawasan yang memadai.

Legislasi Cepat, Partisipasi Semu

Sejak dibahas Februari 2025 oleh Komisi III DPR, RUU KUHAP diklaim melibatkan delapan fraksi dan unsur masyarakat. Namun klaim partisipasi itu dipertanyakan keras oleh koalisi masyarakat sipil. Minimnya transparansi, naskah yang sulit diakses publik, hingga percepatan pembahasan menuju paripurna menunjukkan bahwa “partisipasi” lebih bersifat formalitas ketimbang dialog substantif.

Kritik paling keras datang dari aktivis HAM. Usman Hamid dari Amnesty International Indonesia secara tegas menyebut sejumlah pasal sebagai bentuk “rebut paksa kemerdekaan warga” karena membuka ruang penangkapan dan penahanan tanpa batasan jelas. Sayangnya, suara ini tak cukup kuat membendung laju palu pengesahan.

Regresi Hak Asasi Manusia

Lebih mengkhawatirkan, temuan ICJR menunjukkan bahwa RUU KUHAP gagal menjawab penyakit lama hukum acara pidana Indonesia: penahanan sewenang-wenang dan lemahnya mekanisme kontrol terhadap aparat penegak hukum. Alih-alih memperbaiki, regulasi baru justru menambah kewenangan aparat tanpa menghadirkan pengawasan independen yang ketat.

Risiko terbesar akan dirasakan warga di daerah terpencil wilayah yang sejak lama minim akses bantuan hukum dan pengawasan publik. Di sana, hukum bukan sekadar teks undang-undang, melainkan praktik kuasa yang sangat bergantung pada integritas aparat. Ketika kontrol dilemahkan, hukum berubah dari pelindung menjadi ancaman.

Tidak Selaras dengan Semangat Reformasi

RUU KUHAP juga gagal membaca arah reformasi pidana itu sendiri. Di saat KUHP baru mengedepankan prinsip keadilan restoratif, KUHAP justru tetap berkutat pada paradigma lama: penghukuman formal melalui pengadilan konvensional. Tidak ada terobosan serius untuk mekanisme alternatif penyelesaian perkara, seolah reformasi hanya dimaknai sebagai mengganti pasal, bukan mengubah cara pandang.

Pengesahan di tengah demonstrasi mahasiswa memperlebar jarak antara negara dan warganya. Di era pemerintahan Prabowo Subianto, peristiwa ini mencerminkan kecenderungan mengutamakan target dan kecepatan, ketimbang dialog dan legitimasi publik. Padahal, hukum yang lahir tanpa kepercayaan rakyat hanya akan memperdalam krisis demokrasi.

Jalan Keluar Masih Terbuka

Pemerintah masih memiliki ruang koreksi. Penundaan implementasi melalui peraturan pelaksana yang merevisi pasal-pasal bermasalah adalah langkah minimal. Lebih dari itu, hearing nasional yang terbuka dan inklusif dengan melibatkan ICJR, Amnesty, akademisi, serta korban praktik kriminalisasi perlu segera dilakukan untuk memulihkan kepercayaan publik.

Modernisasi hukum pidana tidak diukur dari seberapa luas wewenang aparat, melainkan sejauh mana hukum mampu melindungi warga biasa dari kesewenang-wenangan. Reformasi pidana sejati hanya lahir dari transparansi, keberanian mendengar kritik, dan komitmen pada hak asasi manusia bukan dari keputusan sepihak di balik pagar tinggi gedung parlemen.



Penulis   :Wilson Estrada 

Editing    :Ubaid Dimas Romandhan 

Posting Komentar

0 Komentar

Ad Code

Responsive Advertisement