SEPTEMBER, GERIMIS, DAN INGATAN LUKA

Malam ini, Selasa 30 September 2025, pukul 21.22.

Aku melangkah pulang dari Kampus Barokah, sendiri. Hanya ditemani gerimis yang menetes lembut di tubuhku, dan jalanan yang basah seolah berbisik tentang duḥkha—sebuah duka yang tak lekang oleh waktu. Kabut menebal selepas hujan, sunyi merayap, dan di jalan itu tiada kendaraan lain yang lewat, hanya aku seorang diri.

Kesunyian ini seakan memanggil ingatan pada malam kelam: G30S/PKI. Malam ketika bangsa ini menyaksikan kekejaman, ketika darah menjadi bahasa politik, dan ketika sunyi menjadi saksi sejarah. Aku membayangkan, betapa mencekamnya malam itu, betapa pekatnya rasa takut, hingga udara pun mungkin enggan bergerak.

             Foto: Marsinah                              Foto: Widji Thukul

Namun, September tidak hanya mencatat tragedi itu. Ia juga membawa jejak lain: September Hitam—tentang luka demokrasi, tentang Marsinah yang tak pernah pulang, tentang suara lantang Widji Thukul yang dipaksa bungkam. Semua itu menjelma seperti guratan takdir getir, yang tertulis di lembaran bangsa.

Gerimis yang mengguyur tubuhku terasa seperti jaladhara, aliran air yang tak hanya membasahi tanah, tetapi juga membuka ingatan. Angin malam membisikkan anitya—segala sesuatu tak ada yang kekal, namun luka sejarah, entah mengapa, justru menetap.

Di bulan September ini, alam seolah ikut berbicara. Gerimis adalah air mata, kabut adalah selimut duka, dan jalanan yang lengang adalah metafora keterasingan. Aku adalah seorang pejalan malam, hanyalah saksi kecil yang mencoba memahami bisikan waktu.

Pada akhirnya, sejarah bukan hanya deretan peristiwa, tetapi juga gema dalam kesadaran kita. Seperti malam ini, yang sederhana namun sarat makna. September adalah cermin, tempat bangsa ini bercermin pada luka, agar kelak tidak lagi menorehkan noda.

Doc. Penulis ketika pulang dari kampus barokah 


Penulis: Licht's
Edit: Chiel

Posting Komentar

0 Komentar

Ad Code

Responsive Advertisement