Ketika Seribu Rupiah Menjadi Cermin Nilai Kemanusiaan di Bendungan yang Indah Namun Tak Teratur

 

Bendungan yang megah dan menyejukkan sejatinya merupakan simbol kemajuan sekaligus karunia alam yang semestinya dinikmati bersama. Selain menjadi sumber energi bagi Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), tempat ini juga kerap dijadikan lokasi rekreasi oleh masyarakat yang ingin menenangkan pikiran. Namun di balik keindahannya, terselip ironi sosial yang patut dikritisi: setiap orang yang melintas di kawasan bendungan diwajibkan membayar Rp1.000 tanpa ada penjelasan apakah itu hukum, sedekah, atau sekedar budaya yang terlanjur melekat.

Pungutan kecil ini seakan telah menjadi tradisi turun-temurun, dijalankan tanpa dasar hukum yang jelas dan tanpa transparansi penggunaan. Masyarakat pun seolah pasrah, menganggap hal itu lumrah, padahal tak ada satu pun papan informasi yang menjelaskan ke mana uang tersebut mengalir. Jika disebut sedekah, semestinya bersifat sukarela, bukan kewajiban. Jika diklaim sebagai aturan desa, maka harus memiliki dasar hukum yang kuat dan transparan. Namun jika hanya sekadar budaya tak tertulis, maka inilah saatnya budaya itu ditata ulang agar tidak menimbulkan kesan pungutan liar yang merugikan masyarakat kecil.

Kisah pemuda yang baru pulang menuntut ilmu adalah cermin nyata dari persoalan ini. Karena tidak memiliki uang sepeser pun, ia sempat dihentikan oleh penjaga jalan dan diminta membayar. Meski akhirnya diizinkan lewat, kejadian tersebut memperlihatkan bahwa sistem “seribu rupiah wajib bayar” telah berubah menjadi penghalang kemanusiaan menilai seseorang bukan dari niat baiknya, tapi dari isi sakunya.

Praktik semacam ini menunjukkan lemahnya manajemen sosial di kawasan publik. Bendungan yang seharusnya menjadi ruang kebersamaan justru menimbulkan sekat antara mereka yang mampu dan yang tidak. Padahal, jika pungutan itu benar digunakan untuk perawatan jalan, maka perlu ada kejelasan, pencatatan, dan pelaporan secara terbuka.

Sudah saatnya pemerintah daerah, pihak pengelola, dan tokoh masyarakat setempat turun tangan. Tradisi tidak boleh dibiarkan tanpa arah, hukum tidak boleh diterapkan tanpa dasar, dan sedekah tidak boleh diwajibkan dengan paksaan.


Pesan Moral: Keindahan bendungan bukan hanya diukur dari jernihnya air dan sejuknya udara, tetapi juga dari jernihnya hati para pengelolanya. Seribu rupiah bukanlah masalah besar, tetapi menjadi masalah moral ketika kejelasan hilang dan keadilan diabaikan. Mari kita jaga agar budaya yang ada tetap berpijak pada nilai kemanusiaan, keikhlasan, dan kejujuran, bukan pada kebiasaan yang menyesatkan makna.


Penulis: Mas Dim

Edit by: Sil

Posting Komentar

0 Komentar

Ad Code

Responsive Advertisement