Manusia Dalam Bayang Sistem: Saat Pencipta Menjadi Korban Ciptaannya

 

Di tengah hiruk-piruk kemajuan teknologi dan gempuran politik digital pada tahun 2025, manusia semakin sering disebut sebagai “Sumber Daya”. Sebutan ini terdengar netral, namun menyimpan ironi yang halus seolah manusia hanyalah alat produksi di dalam mesin besar bernama "Negara". Padahal, manusia bukan sekadar roda penggerak, ia adalah arsitek yang membangun dan menghidupkan sistem itu sendiri.

Negara berdiri karena manusia bersepakat untuk hidup bersama dan menegakkan keadilan. Namun, dalam kenyataan sosial-politik hari ini, sering kali sistem yang diciptakan untuk melayani manusia justru berbalik memperalat mereka. Rakyat menjadi sekedar angka dalam statistik ekonomi, suara dalam pemilu, atau objek dalam wacana pembangunan. Ketika kekuasaan terkonsentrasi pada segelintir elite, nilai kemanusiaan terancam digantikan oleh kepentingan politik.

Kita lupa bahwa negara seharusnya tunduk pada manusia, bukan manusia tunduk pada negara. Sistem hanyalah alat — alat yang seharusnya digunakan untuk memperluas kemerdekaan, bukan mempersempit ruang hidup rakyatnya. Namun kini, manusia kerap terjebak dalam sistem yang mereka bangun sendiri. sistem yang perlahan mengikis nurani, menjadikan manusia efisien tapi kehilangan makna.

Pada titik ini, kita perlu bertanya ulang: "Siapakah yang sebenarnya berkuasa, manusia atau sistem?"

Jika sistem tak lagi berpihak pada nilai kemanusiaan, maka yang harus kita perbaiki bukan manusianya, tapi logika sistem yang melahirkannya. Sebab, sebesar apa pun teknologi, ekonomi, dan politik, semuanya tak berarti bila manusia kehilangan kesadarannya sebagai pusat dan tujuan dari peradaban.

Tahun 2025 seharusnya menjadi momen refleksi saat manusia berhenti menjadi “alat” dan kembali menjadi subjek perubahan. Negara, politik, dan teknologi hanyalah sarana, manusialah yang menentukan arah kemanusiaan.


Penulis: Mas Dim

Edit by: Sil

Posting Komentar

0 Komentar

Ad Code

Responsive Advertisement