Gelar Pahlawan Nasional sebagai Penghormatan Moral Tertinggi, Bukan Alat Pemutih Masa Lalu

 Kritik atas Pemberian Gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto

Ilustrasi kritikan kepada soeharto

Oleh: Pimpinan Umum Lembaga Pers Mahasiswa Laun 

Pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada TNI (Purn) H. M. Soeharto melalui surat Sekretaris Militer Presiden Nomor: R-28/KSN/SM/GT.02.00/11/2025 tertanggal 6 November 2025 kembali memicu perdebatan publik. Langkah ini menimbulkan gelombang reaksi keras, baik dari kalangan akademisi, organisasi masyarakat sipil, maupun mahasiswa yang menilai keputusan tersebut belum melalui refleksi sejarah yang jujur dan berkeadilan.

Dari pemberitaan Kompas.id (23 Oktober 2025), Partai Golkar disebut menjadi pihak yang mengusulkan dan mendukung agar Soeharto dianugerahi gelar pahlawan nasional. Usulan itu kemudian diteruskan oleh Menteri Sosial Saifullah Yusuf kepada Menteri Kebudayaan sekaligus Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK), Fadli Zon. Tak lama berselang, seperti dikutip dari Setkab.go.id (10 November 2025), Presiden Indonesia resmi menetapkan sepuluh tokoh penerima gelar pahlawan nasional, termasuk Soeharto di dalamnya.

Doc. Daftar Penerima Gelar Pahlawan Nasional 

Namun, penetapan tersebut menimbulkan gelombang kritik. Banyak kalangan menilai bahwa gelar pahlawan nasional tidak semestinya diberikan kepada sosok yang meninggalkan jejak panjang pelanggaran hak asasi manusia dan pembungkaman kebebasan rakyat.

Sejarah mencatat bahwa di balik pembangunan fisik dan stabilitas politik Orde Baru, terdapat sederet peristiwa kelam yang menyisakan luka mendalam:

Tragedi 1965–1966, menelan ratusan ribu korban tanpa proses hukum yang jelas.

Tragedi Tanjung Priok (1984) dan Talangsari (1989), menewaskan banyak warga sipil.

Penembakan misterius (1982–1985) yang menghilangkan banyak nyawa tanpa pertanggungjawaban.

Penghilangan paksa aktivis 1997–1998, hingga kini 13 aktivis belum ditemukan.

Kekerasan terhadap perempuan Tionghoa pada Mei 1998, serta kekerasan sistematis di Aceh dan Papua.

Semua peristiwa itu, sebagaimana ditegaskan Lembaga Bantuan Hukum (LBH), menunjukkan bahwa pemerintahan Soeharto identik dengan pelanggaran HAM, pembungkaman pers, dan represi terhadap rakyat.

Dalam buku Apa Agama Teroris karya Anwar Kurniawan, dikutip tulisan Ariel Heryanto yang menyebut bahwa kebangkitan Islam di era Orde Baru bukanlah tanda keterbukaan Soeharto, melainkan strategi politik untuk mempertahankan kekuasaan setelah sebelumnya menindas kelompok Islam.

Pernyataan Ketua LPM Laun, Ubaid Dimas Romandhan

Menanggapi hal tersebut, Ketua Lembaga Pers Mahasiswa Laun, Ubaid Dimas Romandhan, menyampaikan kritik tajam terhadap keputusan pemerintah tersebut.

“Pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto adalah bentuk pelunakan sejarah. Kita tidak boleh melupakan luka kolektif bangsa ini. Di balik pembangunan yang sering diagungkan, ada darah, air mata, dan suara-suara yang dibungkam. Gelar pahlawan seharusnya menjadi penghormatan moral tertinggi, bukan alat untuk memutihkan masa lalu,” tegas Ubaid.

Ia menambahkan bahwa mahasiswa memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga ingatan sejarah agar tidak dikooptasi oleh kepentingan politik sesaat.

“Mahasiswa adalah penulis sejarah masa depan. Jika kita diam, maka generasi berikutnya hanya akan mengenal Soeharto sebagai ‘pahlawan’ tanpa mengetahui derita rakyat di balik kekuasaannya. Itu berbahaya bagi kesadaran bangsa,” lanjutnya.

Menurutnya, pemerintah seharusnya lebih dahulu menuntaskan penyelesaian pelanggaran HAM masa Orde Baru sebelum memberikan penghargaan kepada sosok yang berpotensi menimbulkan luka kolektif nasional.

 “Menghormati korban dan menegakkan keadilan jauh lebih penting daripada memberi gelar simbolik kepada penguasa masa lalu,” pungkasnya.

Refleksi Moral dan Sejarah

Gelar pahlawan nasional tidak sekadar penghargaan administratif, tetapi simbol moral dan teladan bagi generasi penerus bangsa. Jika bangsa ini mudah melupakan sejarah kelamnya sendiri, maka kita berisiko mengulang kesalahan yang sama.

Kita bisa mengakui kontribusi Soeharto dalam pembangunan, tetapi pembangunan tidak bisa dijadikan alasan untuk mengabaikan kemanusiaan.

Menghapus luka lama tanpa penyelesaian adalah pengkhianatan terhadap keadilan sejarah.


Ingat kata Widji Thukul 

“Aku akan tetap ada dan berlipat ganda.”



Sumber   :  

  1. https://share.google/oRIbym2yU8227mZE0
  2. Kontroversi Soeharto Menjadi Pahlawan, Kritik Muncul, Masyarakat Merasa Sejarah Diputarbalikkan - Radar Mojokerto https://share.google/rdHS5xO7lZH9SHumB
  3. Kompas.id https://share.google/yFcoBDp3XFD8uSPkX
  4. Sekretariat Kabinet Republik Indonesia https://share.google/xCcAbspLiHQAiSACX
  5. detikNews https://share.google/mMXbQQT98YkH9LLu4

Posting Komentar

0 Komentar

Ad Code

Responsive Advertisement