ALIANSI AKTIVIS DEMOKRASI BLITAR RAYA GELAR DISKUSI PUBLIK, SOROTI PEMBUNGKAMAN AKTIVIS DAN KEMUNDURAN DEMOKRASI

Doc. Aliansi Aktivis Demokrasi Blitar
 LPM_Laun Aliansi Aktivis Demokrasi Blitar Raya menggelar diskusi publik bertema “Quo Vadis Kebebasan Ekspresi? Membongkar Kemunduran Demokrasi dan Pemburuan Aktivis” pada Kamis, 4 Desember 2025 pukul 13.00 di Aula Lantai 3 Kampus 1 Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Blitar

Dalam kegiatan tersebut, aliansi menyampaikan empat pernyataan sikap: menghentikan kriminalisasi terhadap aktivis, menghentikan pemburuan pejuang demokrasi, membebaskan Saiful Amin dan Shelfin Bima beserta seluruh aktivis yang ditahan, serta menuntut reformasi Polri.

Acara ini dimoderatori oleh Lailatul Fauziah atau Ziya, dan menghadirkan tiga narasumber: Dipang Tri Prayoga S.H. dari Sekitar Institute, Reyda Hafis dari UNU Blitar, serta Dr. Supriarno M.H., Founder Pusat Studi Hukum dan Keadilan UNU Blitar.

Dipang: Demokrasi Hancur dari Dalam, Rakyat Tidak Diajarkan Politik

Narasumber pertama, Dipang Tri Prayoga, menyoroti kondisi demokrasi yang menurutnya tengah runtuh dari dalam. Ia menegaskan bahwa rakyat seharusnya menjadi pemilik negara, namun ruang pendidikan politik dan diskursus sosial justru tidak diberikan.

“Bos dari negara ini adalah rakyat. Demokrasi dihancurkan penguasa, dan rakyat tidak diajarkan tentang politik dan diskursus sosial,” ujar Dipang.

Menurutnya, menurunnya aktivitas pendidikan, diskursus, dan keterlibatan publik membuat demokrasi semakin merosot. Ia juga menggambarkan bahwa represi terhadap aktivis telah berlangsung sistematis, termasuk penangkapan yang berlangsung tanpa prosedur jelas.

Reyda Hafis: Kelompok Kecil Rentan, Aliansi Dibentuk untuk Menguatkan Perjuangan

Narasumber kedua, Reyda Hafis, menyoroti minimnya konsolidasi kelompok-kelompok kecil yang bergerak di isu demokrasi. Menurutnya, kerentanan mereka menjadi salah satu alasan pembentukan Aliansi Aktivis Demokrasi Blitar Raya.

“Banyak kelompok kecil belum berkonsolidasi, sehingga rentan. Karena itulah aliansi dibentuk untuk mengurangi kerentanan,” ujar Hafis.

Ia menyebutkan bahwa lebih dari 3.000 orang telah ditangkap dan lebih dari 90 orang ditetapkan sebagai tersangka dalam berbagai gelombang pembungkaman ekspresi.

Membawa pesan dari almarhum pejuang HAM Munir, ia mengingatkan:

“Munir pernah bilang: saya sebenarnya takut, tapi salah satu obat adalah lawan.”

Pertanyaan Moderator: “Bagaimana Pandangan Hukum?”

Moderator Ziya kemudian mengajukan pertanyaan tentang pandangan hukum terhadap maraknya pembungkaman.

Dr. Supriarno, M.H.,: Pembungkaman Sudah Berulang Sejak Zaman Kolonial hingga Sekarang

Menanggapi pertanyaan tersebut, narasumber ketiga, Dr. Supriarno, M.H., menjelaskan bahwa pembungkaman terhadap suara kritis bukan fenomena baru. Dari masa kolonial, pendudukan Jepang, hingga era moderen praktik itu selalu dilakukan oleh pihak penguasa.

Ia menyinggung sejumlah tokoh sejarah yang dibungkam, mulai dari Cokro Aminoto, Tan Malaka, hingga Karto Suryo dan pejuang lainnya.

“Sejak kolonial, Jepang, hingga orde lama yang membungkam adalah penguasa. Hukum digunakan untuk melancarkan jalan kekuasaan,” tegas Priarno

Ia juga menyoroti kasus penangkapan aktivis seperti Saiful Amin yang didatangi delapan anggota Polres dan ditetapkan tersangka sehari setelah diperiksa sebagai saksi. 

Priarno menilai pola ini menunjukkan penyalahgunaan hukum dan pendekatan represif aparat:

“Ada penangkapan tanpa surat tugas, ditahan dulu lalu dijadikan tersangka. Itu kedangkalan berpikir. Hukum dipakai untuk memuluskan jalan penguasa.”

Pola Penangkapan Aktivis: Dari Shelfin Bima hingga Munib

Menjawab pertanyaan moderator berikutnya tentang pola penangkapan aktivis, Dipang menegaskan bahwa masyarakat bisa melihat pola tersebut melalui investigasi yang dilakukan berbagai media.

Ia menyebut kasus Shelfin Bima, yang ditangkap setelah berorasi, serta Munib, yang diamankan oleh 24 polisi.

“Insting dari era Soekarno sampai sekarang adalah membungkam kritik. Mereka hanya punya otot, tapi tidak disertai cara berpikir kritis,” ujar Dipang.

Priarno kemudian menambahkan bahwa Indonesia kini tidak sedang berjalan sebagai negara demokrasi.

“Indonesia adalah negara undang-undang dan negara komando, bukan negara demokrasi,” katanya

Hafis: Tiga Pilar Kekuasaan Kini Seakan Melebur

Menutup diskusi, Hafis menjawab pertanyaan moderator terkait kemunduran demokrasi. Ia menyatakan bahwa demokrasi idealnya ditopang oleh tiga kekuatan: legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Namun kini, menurutnya, ketiga pilar itu seperti menyatu dan tidak lagi saling mengawasi.

Ia juga mencontohkan kasus seorang pemuda bernama Fakiya yang hanya mengunggah Story Instagram (SG) namun ikut ditahan.

Upaya Menjaga Ruang Demokrasi

Diskusi ini menjadi ruang refleksi bahwa pembungkaman aktivis bukan kasus terisolasi, tetapi pola sistemik yang terus berulang. Aliansi Aktivis Demokrasi Blitar Raya menegaskan bahwa kebebasan berekspresi adalah hak konstitusional yang harus diperjuangkan, dan represif terhadap aktivis merupakan ancaman nyata bagi demokrasi.


Penulis  :Ubaid Dimas Romandhan 

Posting Komentar

0 Komentar

Ad Code

Responsive Advertisement